Rabu, 08 Mei 2013

Merenungkan Tentang Kematian

keluarga dan sahabat.

Saudaraku! Anda masih ingat detik-detik ketika kakek, atau nenek, atau mungkin ayah, ibunda, atau mungkin juga istri atau suami tercinta meregang nyawanya? Pernahkah anda bertanya dan berpikir apakah yang mereka rasakan ketika ruh mereka meninggalkan raganya? 

Agar anda dapat menerka apa yang mereka rasakan kala itu, coba anda kembali mengingat raut wajah mereka ketika detik-detik terakhir sebelum meninggal dunia.

Tahukah saudara! Apa yang dialami oleh ayahanda atau kerabat anda saat itu? Tahukah saudara, dengan siapa ia berhadapan? Berikut inilah kejadian yang dialami oleh ayahanda atau ibunda atau kerabat anda kala itu (Kisah ini dituturkan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Majah):

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلاَئِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِى إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ - قَالَ - فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِى السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِى ذَلِكَ الْكَفَنِ وَفِى ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ - قَالَ - فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ - يَعْنِى بِهَا - عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِى الدُّنْيَا

"Sesungguhnya bila seorang yang beriman hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Wajah mereka putih bercahaya bak matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga. Selanjutnya mereka akan duduk sejauh mata memandang dari orang tersebut. Pada saat itulah Malaikat Maut ’alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: "Wahai jiwa yang baik,bergegas keluarlah dari ragamu menuju kepada ampunan dan keridhaan Allah". Segera ruh orang mukmin itu keluar dengan begitu mudah dengan mengalir bagaikan air yang mengalir dari mulut guci. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangan Malaikat Maut. Para malaikat segera mengambil ruh orang mukmin itu dan membungkusnya dengan kain kafan dan wewangian yang telah mereka bawa dari surga. Dari wewangian ini akan tercium semerbak bau harum, bagaikan bau minyak misik yang paling harum yang pernah ada di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruhnya itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: "Ruh siapakah ini, begitu harum." Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terbaik yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)."

Saudaraku! Walau demikian mudah arwah orang mukmin keluar dari raganya, akan tetapi bukan berarti bebas dari rasa sakit! Sekali-kali tidak.

Adakah keraguan pada diri anda bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam adalah orang mukmin yang paling sempurna keimanannya? Akan tetapi kemulian dan kesempurnaan iman beliau tidak dapat melindungi beliau dari rasa pedihnya sakaratul maut. Oleh karena itu, tatkala beliau menghadapi sakaratul maut, beliau begitu gundah. Beliau berusaha menenangkan dirinya dengan mengusap wajahnya dengan tangannya yang telah dicelupkan ke dalam bejana berisi air. Beliau mengusap wajahnya berkali-kali, sambil bersabda: 

(لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ) رواه البخاري

"Tiada Tuhan Yang berhak diibadahi selain Allah. Sesungguhnya kematian itu disertai oleh rasa pedih." [Riwayat Imam Bukhari]

Pada suatu hari sahabat Umar bin Al Khatthab Radhiyallahu ’anhu bertanya kepada Ka’ab Al Ahbaar: 

يا كعب حدثنا عن الموت، قال: يا أمير المؤمنين غصن كثير الشوك يدخل في جوف الرجل فتأخذ كل شوكة بعرق يجذبه رجل شديد الجذب، فأخذ ما أخذ، وأبقى ما أبقى.

"Wahai Ka’ab: Ceritakan kepada kita tentang kematian!. Ka’ab pun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, sehingga setiap duri menancap di setiap syarafnya. Selanjutnya dahan itu sekonyong-konyong ditarik dengan sekuat tenaga oleh seorang yang gagah perkasa. Bayangkanlah, apa yang akan turut tercabut bersama dahan itu dan apa yang akan tersisa!" [Riwayat Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’]

شداد بن أوس الموت افظع هول في الدنيا والآخرة على المؤمن وهو أشد من نشر بالمناشير وقرض بالمقاريض وغلي في القدور. ولو أن الميت نشر فأخبر أهل الدنيا بالموت ما انتفعوا بعيش ولا لذوا بنوم 

Syaddaad bin Al Aus berkata: "Kematian adalah pengalaman yang paling menakutkan bagi seorang mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Kematian itu lebih menyakitkan dibanding anda digergaji, atau dipotong dengan gunting, atau direbus dalam periuk. Andai ada seseorang yang telah mati diizinkan untuk menceritakan tentang apa yang ia rasakan pada saat menghadapi kematian, niscaya mereka tidak akan pernah bisa menikmati kehidupan dan juga tidak akan pernah tidur nyenyak."

Bila demikian dahsyatnya rasa sakit yang menimpa seorang mukmin ketika menghadapi sakaratul maut, maka bagaimana dengan diri anda? Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang menodai lembaran amal anda? Anda ingin tahu bagaimana rasanya sakaratul maut bila anda tidak segera bertaubat dari kemaksiatan dan beristiqamah dalam ketaatan? Simaklah kelanjutan hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah di atas:

وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ وفي رواية وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ السُّوءُ إِذَا كَانَ فِى انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلاَئِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ مَعَهُمُ الْمُسُوحُ فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِىءُ مَلَكُ الْمَوْتِ حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ اخْرُجِى إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ - قَالَ - فَتُفَرَّقُ فِى جَسَدِهِ فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِى يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِى تِلْكَ الْمُسُوحِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلاَ يَمُرُّونَ بِهَا عَلَى مَلأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا مَا هَذَا الرُّوحُ الْخَبِيثُ فَيَقُولُونَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ بِأَقْبَحِ أَسْمَائِهِ الَّتِى كَانَ يُسَمَّى بِهَا فِى الدُّنْيَا رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني

"Bila orang kafir, pada riwayat lain: Bila orang jahat hendak meninggal dunia dan memasuki kehidupan akhirat, ia didatangi oleh segerombol malaikat dari langit. Mereka berwajahkan hitam kelam, membawa kain yang kasar, dan selanjutnya mereka duduk darinya sejauh mata memandang. Pada saat itulah Malaikat Maut ’alaihissalam menghampirinya dan duduk didekat kepalanya. Setibanya Malaikat Maut, ia segera berkata: "Wahai jiwa yang buruk, bergegas engkau keluarlah dari ragamu menuju kepada kebencian dan kemurkaan Allah". Segera ruh orang jahat itu menyebar keseluruh raganya. Tanpa menunda-nunda malaikat maut segera mencabut ruhnya dengan keras, bagaikan mencabut kawat bergerigi dari bulu domba yang basah. Begitu ruhnya telah keluar, segera Malaikat Maut menyambutnya. Dan bila ruhnya telah berada di tangan Malaikat Maut, para malaikat yang telah terlebih dahulu duduk sejauh mata memandang tidak membiarkanya sekejappun berada di tangannya. Para malaikat segera mengambil ruh orang jahat itu dan membukusnya dengan kain kasar yang mereka bawa. Dari kain itu tercium aroma busuk bagaikan bau bangkai paling menyengat yang pernah tercium di dunia. Selanjutnya para malaikat akan membawa ruh itu naik ke langit. Tidaklah para malaikat itu melintasi segerombolan malaikat lainnya, melainkan mereka akan bertanya: "Ruh siapakah ini, begitu buruk." Malaikat pembawa ruh itupun menjawab: Ini adalah arwah Fulan bin Fulan (disebut dengan namanya yang terburuk yang dahulu semasa hidup di dunia ia pernah dipanggil dengannya)."

Saudaraku! Coba anda ingat kembali, rasa pedih dan sakit yang pernah anda rasakan ketika tertusuk atau tersengat api! Sangat menyakitkan bukan? Padahal syaraf yang merasakan rasa sakit hanyalah sebagiannya. Walau demikian, rasanya begitu menyakitkan, sehingga susah untuk dilupakan? 

Nah bagaimana halnya bila kelak pada saat sakaratul maut seluruh syaraf anda merasakan sakit. Disaat ruh anda berusaha berpegangan erat-erat dengan setiap syaraf anda sedangkan Malaikat Maut mencabutnya dengan keras dan kuat. Betul-betul menyakitkan. 

Penampilan Rasa Malaikat Maut yang begitu seram dan menakutkan akan semakin menambah pedih rasa sakit yang anda rasakan.

Saudaraku! Siapkah anda menjalani pengalaman yang begitu menakutkan dan begitu menyakitkan? 

Bila saudara tidak kuasa menjalani sakaratul maut yang sangat menyakitkan seperti ini, maka mengapa noda-noda maksiat terus mengotori lembaran amal dan menghitamkan hati anda? Mengapa kaki anda terasa kaku, tangan serasa terbelenggu, mata seakan melekat dan pintu hati seakan terkunci ketika ada seruan beribadah kepada Allah? 

Saudaraku! Agar hati anda kembali menjadi lunak dan pintu hati anda terbuka lebar-lebar untuk menerima dan mengamalkan kebenaran, maka alangkah baiknya bila anda sering-sering berziarah ke kuburan. Dengan berziarah ke kuburan, diharapkan anda akan senantiasa menyadari, cepat atau lambat anda pasti menjadi salah seorang dari penghuni kuburan.

(زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ) رواه مسلم

"Berziarahlah ke kuburan, karena ziarah ke kuburan itu dapat mengingatkan kalian akan kematian." [Riwayat Muslim].

Saudaraku! Ada satu pertanyaan yang tidak mungkin anda temukan jawabannya sebelum anda mengalaminya sendiri: Termasuk golongan manakah diri anda, apakah termasuk golongan orang-orang mukmin yang dimudahkan ketika menghadapi sakaratul maut ataukah termasuk golongan yang kedua?

Karenanya, marilah kita berjuang, dan berdoa memohon kepada Allah agar diri kita –dengan rahmat dan kemurahan Allah- dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan keteguhan dan kemudahan ketika menghadapi Malaikat Maut dimudahkan. Amiin.

Rabu, 03 April 2013

Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu


penaDi antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan Muslim).
Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.
Antusias dalam Menuntut Ilmu
Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai." (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: "Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya."
Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa "tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini." Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya), ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar: 9). Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah: 11). Dan, sabda Nabi saw., "Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama." (HR Bukhari dan Muslim). Dan, sabda beliau pula, "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi). Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.
Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah ...," maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.
Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur'an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.
Perkataan Syaikh selanjutnya: "Curahkan kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.
Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf: 76). 'Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'."
Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."
Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu
Barang siapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.
Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).
Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa gunanya mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.
Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.
Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: "Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru. Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."
Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.
Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.
Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya
Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.
Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.
Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.
Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.
Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya
Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.
Jika ada yang bertanya, "Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.
Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau ada yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar'i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.
Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.
Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.
Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.
Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.
Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.
Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab: 21).
Firman-Nya yang lain, "Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).
Menjaga Hafalan
Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.
Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi." (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').
Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., "Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur'an. Kalau Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya."
Sebagian ulama berkata, "Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan." (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).

Mensyukuri Nikmat Hujan


Musim kemarau berlalu, berganti dengan musim penghujan. Suatu hal yang patut disyukuri karena Allah ta’ala masih menurunkan rahmat-Nya kepada kita mengingat dosa-dosa anak Adam sedemikian derasnya terjadi saat ini, sehingga jika kita mau memperhatikan, hampir seluruh dosa umat-umat terdahulu telah dilakukan oleh umat manusia pada saat ini.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kemarau akan menimpa suatu kaum yang bermaksiat kepada Allah, sedangkan hujan yang diturunkan kepada mereka merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hewan ternak. Asy Syaukani dalam Nailul Authar 4/26 mengatakan,

أَنَّ نُزُولَ الْغَيْثِ عِنْدَ وُقُوعِ الْمَعَاصِي إنَّمَا هُوَ رَحْمَةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى لِلْبَهَائِمِ

“Sesungguhnya turunnya hujan tatkala maksiat tersebar hanyalah rahmat dari Allah ta’ala kepada hewan ternak”. Akankah kita mau berpikir?
Terkait dengan hujan, seorang muslim selayaknya mengetahui berbagai adab yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hujan turun. Beliau telah memberikan teladan kepada umatnya dalam seluruh perkara, tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Bahkan setiap muslim patut mengetahui berbagai tuntunan syari’at dalam setiap perkara agar mampu mengamalkannya, sehingga pahala akan senantiasa mengalir kepada dirinya. Oleh karena itu, melalui artikel ini, kami berusaha untuk memaparkan berbagai adab yang dituntunkan ketika Allah menurunkan hujan-Nya ke permukaan bumi. Semoga Allah menjadikan amalan ini bermanfaat bagi diri kami pribadi dan kaum muslimin,
Pertama, takut dan khawatir terhadap siksa Allah
Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha pernah berkata,

ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم مستجمعا ضاحكا حتى أرى منه لهواته إنما كان يبتسم قالت وكان إذا رأى غيما أو ريحا عرف ذلك في وجهه فقالت يا رسول الله أرى الناس إذا رأوا الغيم فرحوا رجاء أن يكون فيه المطر وأراك إذا رأيته عرفت في وجهك الكراهية ؟ قالت فقال يا عائشة ما يؤمنني أن يكون فيه عذاب قد عذب قوم بالريح وقد رأى قوم العذاب فقالوا هذا عارض ممطرن

“Aku tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga terlihat lidahnya, beliau hanya tersenyum. Apabila beliau melihat awan mendung dan mendengar angin kencang, maka wajah beliau akan segera berubah. ‘Aisyah berkata kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah aku memperhatikan apabila manusia melihat awan mendung, maka mereka bergembira karena mengharap hujan akan turun. Namun, aku memperhatikan dirimu, jika mendung datang, kegelisahan nampak di wajahmu? ‘Aisyah berkata, “Maka rasulullah pun menjawab, “Wahai ‘Aisyah tidak ada yang dapat menjaminku, bahwa awan tersebut mengandung adzab. Sungguh suatu kaum telah diadzab dengan angina kencang sedangkan mereka mengatakan, “Inilah awan yang akan mengirimkan hujan kepada kami” (Al Ahqaaf: 24)” (HR. Muslim nomor 899).
An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فيه الاستعداد بالمراقبة لله والالتجاء إليه عند اختلاف الأحوال وحدوث ما يخاف بسببه وكان خوفه صلى الله عليه وسلم أن يعاقبوا بعصيان العصاة وسروره لزوال سبب الخوف

“Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah dan berlindung pada-Nya tatkala terjadi perubahan cuaca dan nampak penyebab sesuatu yang ditakutkan. Rasa takut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut karena khawatir umat beliau akan diadzab dengan sebab kemaksiatan yang dilakukan oleh para pelaku maksiat dan beliau akan kembali gembira ketika sebab yang menimbulkan ketakutan telah berlalu (dalam hal ini awan mendung dan angin kencang-pent)” (Syarh Shahih Muslim 6/196).
Kedua, berdo’a ketika turun hujan
Apabila hujan turun maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdo’a. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat hujan, maka beliau berdo’a dengan lafadz,

اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Ya Allah, turunkanlah hujan yang baik dan bermanfaat” (HR. Bukhari nomor 1032).
Dalam al Umm (1/223-224) imam Asy Syafi’i menyebutkan sebuah hadits mursal, bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اطْلُبُوا اسْتِجابَةَ الدُّعاءِ عِنْدَ التقاءِ الجُيُوشِ وَإقامَةِ الصَّلاةِ وَنُزُولِ الغَيْثِ

“Bergegaslah berdo’a di waktu yang mustajab, yaitu ketika bertemunya dua pasukan di medan pertempuran, ketika shalat hendak dilaksanakan, dan turunnya hujan.”
Imam Ibnul Qayyim juga menyebutkan hal ini dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (1/439).
Ketiga, memperbanyak rasa syukur kepada Allah
Bumi yang semula tandus akan kembali subur ketika hujan membasahinya, hal ini merupakan salah satu nikmat Allah yang diturunkan kepada para hamba-Nya dan patut disyukuri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (١٢)

“Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji” (Luqman: 12).
Imam An Nawawi dalam Al Adzkar (1/182) berkata,

ويستحب أن يشكر الله سبحانه وتعالى على هذه النعمة ، أعني نزول المطر.

“Dianjurkan untuk bersyukur kepada Allah atas curahan nikmat ini, yaitu nikmat diturunkannya hujan.”
Keempat, mengguyur sebagian badan dengan air hujan
Dari Anas radliallahu ‘anhu, dia berkata,

أصابنا ونحن مع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم مطر، قال: فحسر رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ثوبه حتى أصابه من المطر، فقلنا يا رسول الله لم صنعت هذا؟ قال: “لأنه حديث عهد بربه

“Hujan mengguyur kami beserta rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap sebagian bajunya sehingga hujan membasahi sebagian tubuhnya. Kami bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, mengapa engkau lakukan hal itu? Beliau menjawab, “Aku melakukannya karena hujan tersebut adalah rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah” (HR. Muslim nomor 898).
An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 6/196 mengatakan,

معنى حديث عهد بربه أي بتكوين ربه اياه ومعناه أن المطر رحمة وهي قريبة العهد بخلق الله تعالى لها فيتبرك بها وفي هذا الحديث دليل لقول أصحابنا أنه يستحب عند أول المطر أن يكشف غير عورته ليناله

“Makna dari ucapan beliau ‘حديث عهد بربه’ adalah hujan ini semata-mata dibentuk oleh Rabb-nya, maksudnya adalah hujan tersebut adalah rahmat yang baru saja diciptakan Allah ta’ala, maka beliau bertabarruk dengannya. Hadits ini merupakan dalil bagi pendapat rekan-rekan kami (para ulama bermazhab Syafii, ed) yang menyatakan bahwa dianjurkan menyingkap bagian tubuh selain aurat ketika permulaan hujan agar hujan mengguyur tubuhnya.”
Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i juga menyebutkan hal yang senada dalam kitabnya Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khairil ‘Ibad (1/439).
Kelima, berdzikir setelah turunnya hujan
Hal ini berdasarkan kandungan yang tersirat dalam hadits Zaid bin Khalid Al Jahni radliallahu ‘anhu , beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ

“Hujan diturunkan kepada kami dengan karunia dan rahmat-Nya” (HR. Bukhari nomor 1038, Muslim nomor 71).
Keenam, berdo’a agar cuaca dicerahkan kembali
Apabila hujan turun dengan derasnya dan dikhawatirkan membawa mudharat, maka kita dianjurkan untuk berdo’a kepada Allah agar cuaca dicerahkan kembali, sebagaimana hadits Anas, dimana Rasulullah berdo’a dengan lafadz,

اَللَّهُمَّ حَوَالِيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ عَلَى اْلآكَامِ، وَالجِْبَالِ، وَاْلظَرَابِ، وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Ya Allah turunkanlah hujan di daerah sekitar kami, bukan di daerah kami. Turunkanlah hujan di perbukitan, pegunungan, di lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan” (HR. Bukhari nomor 933, Muslim nomor 897).
Ketujuh, berdo’a ketika mendengar petir
Dari Abdullah ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendengar suara petir, maka beliau berujar,

اَللَّهُمَّ لاَ تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ، وَلاَ تُهْلِكُنَا بَعَذَابِكَ، وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِكَ

“Ya Allah, janganlah Engkau hancurkan kami dengan kemarahan-Mu dan janganlah Engkau binasakan kami dengan adzab-Mu, selamatkanlah diri kami sebelum hal tersebut terjadi” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad nomor 721, Tirmidzi nomor 3450, Hakim 4/286, beliau mengatakan, “Shahihul Isnad dan keduanya (Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya) dan hal ini disetujui oleh Adz Dzahabi”. Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Al Adzkar hal. 262 mengatakan isnad hadits ini lemah, namun memiliki syahid yang dapat menguatkannya.).
Dari Abdullah ibnuz Zubair radliallahu ‘anhu dengan status mauquf, bahwasanya beliau tatkala mendengar petir berdo’a dengan do’a berikut,

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمُدِهِ، وَاْلمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

“Mahasuci Allah, dimana petir bertasbih dengan memuji-Nya, dan juga malaikat karena takut akan kemarahan-Nya” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad nomor 723; Malik nomor 1801; Ibnu Abi Syaibah nomor 29214, 29216 dengan sanad yang shahih).
Demikan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua, sehingga kita mampu melewati musim penghujan ini dengan meraup pahala.

Hakekat Cinta Sejati



loveMencermati perjalanan kata “cinta” di tengah manusia adalah suatu hal yang mengherankan bagi penuntut kehidupan kekal abadi, pengelana ke negeri akhirat. Dalam kehidupan ini, banyak insan rela untuk berkorban bagi siapa yang dia cintai, tidak peduli dengan rintangan yang harus dihadapi guna membuat yang dia cintai tenang dan bahagia. Betapa dia memberikan perhatian kepada kecintaannya dan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Terasa hatinya gundah-gulana tatkala yang dicintainya dirundung duka dan kesedihan. Atau amatlah besar kepedihan hati dan kesengsaraan tatkala dia mendapatkan dari yang dia cintai ada yang selain dari apa yang dia harapkan.
Memang merupakan tabiat manusia untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya, atau paling tidak membalas budi kepadanya, dan ini adalah dasar pokok tumbuhnya cinta pada sebagian manusia kepada sebahagian lainnya. Namun, bukankah segala nikmat dan kebaikan yang dia dapatkan dari orang yang dicintainya adalah berasal dari Allah?
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kalian meminta pertolongan.” [An-Nahl: 53]
Adakah suatu nikmat yang dia berikan kepada orang yang dia cintai tidak berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, sedang dia mengetahui bahwa hanya milik Allah-lah segala yang di langit dan di bumi?
Inilah letak keheranan sekaligus renungan pelajaran dalam samudra kehidupan yang penuh dengan cobaan dan godaan ini.
Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa tiada kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih besar dari kecintaan kepada Allah. Itulah surga dunia dan kenikmatan hakiki.
Kecintaan kepada Allah adalah kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan diri, energi hati, cahaya akal, penyejuk mata dan kemakmuran batin. Tiada hal yang lebih nikmat dan lebih sejuk bagi hati yang sehat, jiwa yang baik, dan akal yang jernih dari kecintaan kepada Allah, rindu untuk beribadah kepada-Nya dan berjumpa dengan-Nya.
Kecintaan kepada Allah ialah ruh kehidupan, siapa yang luput darinya maka tergolong ke dalam bangkai-bangkai yang berjalan. Ia adalah cahaya, siapa yang tidak berbekal dengannya maka dia akan berada dalam lautan kegelapan. Ia adalah penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya akan terjangkit oleh seluruh penyakit. Dan ia adalah kelezatan, siapa yang tidak menemukannya maka hidupnya hanya sekedar gundah gulana dan kepedihan.
Kecintaan kepada Allah inilah yang mengantarkan hamba kepada negeri yang hanya dapat dicapai setelah menjalani berbagai rintangan dan kesulitan. Dan dengan cinta inilah, seorang hamba meraih kedudukan dan derajat yang didambakan oleh setiap hamba yang shalih.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, yang barangsiapa perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Membahas masalah kecintaan kepada Allah adalah menyibak samudra yang sangat luas. Namun cukuplah di sini kita mengisyaratkan akan tiga hal.
Kecintaan kepada Allah adalah pondasi ibadah.
Berkata Ibnu Taimiyah, “Kecintaan kepada Allah, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban yang paling agung, dasarnya yang paling besar dan pondasinya yang mulia. Bahkan dia adalah dasar setiap amalan, dari berbagai amalan keimanan dan agama.”
Ibnul Qayyim bertutur pula, “Pondasi ibadah adalah cinta kepada Allah. Bahkan mengesakan Allah adalah dengan kecintaan itu, di mana segala cinta hanya untuk Allah. Tidak boleh selain Allah dicintai bersama Allah. Akan tetapi kecintaannya hendaknya karena Allah dan pada Allah, sebagaimana dia mencintai para nabi dan rasul, para malaikat dan para wali. Kecintaannya kepada mereka adalah dari kesempurnaan kecintaannya kepada Allah dan bukan cinta kepada mereka bersama Allah.”
Maksudnya bahwa segala cinta itu hanya untuk Allah. Bila seorang hamba memberi cinta kepada makhluk, maka kecintaan tersebut juga karena Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya, sebagaimana seorang mukmin cinta kepada para nabi, para malaikat, kaum mukminin dan selainnya. Adapun siapa saja yang mencintai makhluk dengan cinta ibadah, atau di samping cinta kepada Allah  dia juga mencintai makhluk maka hal tersebut tergolong perbuatan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman, sebagaimana dalam firman Allah,
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang  yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
Tanda-tanda Cinta kepada Allah
Berikut ini beberapa ayat yang menjelaskan tanda-tanda kecintaan kepada Allah.
Di antaranya adalah firman Allah,
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Âli ‘Imrân: 31]
Ayat ini menjelaskan bahwa tanda kecintaan seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wa sallam dalam segala tuntunan dan syariat yang beliau bawa, secara zhahir maupun bathin.
Selanjutnya, firman Allah Ta’âlâ,
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Mâ`idah: 54]
Dalam ayat ini terdapat empat tanda kecintaan hamba kepada Allah:
Pertama, dia berlemah lembut kepada sesama mukmin.
Kedua, dia bersikap keras dan benci kepada orang-orang kafir.
Ketiga, dia berjihad di jalan Allah dengan segala kemampuannya, baik dengan harta, lisan, badan maupun hatinya.
Keempat, dia tidak takut terhadap celaan manusia dalam menjalankan perintah-perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Selain itu, dari tanda kecintaan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla adalah mendahulukan Allah dan Rasul-Nya di atas segala perkara. Allah Jalla Sya’nuhu berfirman,
“Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat-tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya,” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]
Dari tanda kecintaan hamba kepada Allah adalah benci kepada apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sebab-sebab Penumbuh Cinta kepada Allah
Ibnul Qayyim rahimahullâh menyebutkan sepuluh sebab yang akan menumbuhkan dan menambah rasa cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Berikut sepuluh sebab tersebut.
  1. Membaca Al-Qur`ân dengan tadabbur dan memahami maknanya.
  2. Memperbanyak ibadah nafilah (sunnah) setelah menunaikan ibadah-ibadah wajib.
  3. Memperbanyak dzikir kepada Allah dalam segala keadaan.
  4. Lebih mendahulukan pelaksanaan dari apa yang dicintai oleh Allah, walaupun hal tersebut menyelishi hawa nafsunya.
  5. Membawa hati untuk mencermati nama-nama dan sifat-sifat Allah dan menelusuri taman-tamannya.
  6. Menyaksikan kebaikan, kebajikan dan nikmat-nikmat Allah kepada makhluk-Nya.
  7. Menundukkan diri di hadapan Allah Subhânahu wa Ta’âla.
  8. Berkhalwat dan bermunajad kepada-Nya di waktu malam, terkhusus pada sepertiga malam terakhir.
  9. Duduk dengan orang-orang shalih.
  10. Menghindari segala sebab yang bisa memisahkan antara hatinya dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Tentunya sepuluh sebab di atas bersumber dan dari berbagai keterangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang senantiasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan beramal dengan ketaatan. Wallâhu Ta’âla A’lam.